Pada tanggal 17 Agustus kemarin, Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-71. Jika kedua angka itu dijadikan pintu muhasabah dalam kerangka mawas diri untuk membaca dan memahami kondisi keindonesiaan saat ini, melalui dua surat dalam Al-Qur’an, yakni Surat 17 Al-Israa dan Surat 71 Nuh, sungguh, orang-orang beriman mungkin sudah harus segera pergi ke atas bukit dan membuat kapal!
Surat 17 ayat 16-17 menyampaikan firman Allah: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”
Lalu, pada ayat 71-72 di surat yang sama, Allah berfirman: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”
Sementara itu, pada Surat 71 (setelah ayat 15-20 menegaskan tentang kekuasaan Allah Sang Mahapencipta) pada ayat 21-22 termaktub, “Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat besar’."
Isi ayat-ayat dari kedua surat yang dikutip di atas, yang sama-sama merujuk kepada Nabi Nuh, sungguh mengingatkan pada kondisi Republik Indonesia hari ini, khususnya dalam dunia politik dan pemerintahan, terutama pada perjalanan bangsa periode 20 tahun terakhir ini. Perjalanan yang penuh kedurhakaan dan hanya menuju kesesatan.
Syahwat bermewah-mewah telah mengobarkan nafsu korupsi yang amat parah dan memotong seluruh urat malu. Para pemimpin di tiga pilar kekuasaan – eksekutif, legislatif, yudikatif – sebagian besar buta hatinya sehingga mereka bergirang menjadi para hamba setan. Harta dan kekuasaan melahirkan komplotan oligarki yang melakukan perampokan besar-besaran atas kekayaan negara. Para pemegang kekuasaan, di tingkat pusat hingga daerah, dari kementerian hingga kelurahan, terlibat dalam tipu daya yang amat besar.
Dengan demikian, kita kini seakan-akan hanya tinggal menunggu berlakunya azab Allah: binasa sebagaimana umat yang mendustakan Nabi Nuh. Naudzubillah min dzalik!
Revolusi Mental = Revolusi Kebudayaan
Konsep Revolusi Mental yang dijanjikan Presiden Jokowi sesungguhnya memberikan harapan bagi bangsa Indonesia untuk tidak terbenam secara konyol di dalam azab, apa pun bentuknya. Penegasan yang diberikan oleh Presiden Jokowi seusai berdialog dengan 25 budayawan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Selasa (23/8), menunjukkan kesadaran bahwa yang harus dibangun di negeri ini bukan hanya kehidupan ekonomi dan politik, melainkan juga kebudayaan.
Bahkan, jika melihat kembali konsep Revolusi Mental, sudah seharusnya pemerintahan Presiden Jokowi memberikan perhatian lebih khusus kepada pembangunan kebudayaan. Sebab, adalah kebudayaan yang akan menjadi fondasi sekaligus tenaga pendorong bagi kebangunan ekonomi, politik , yang akan sekaligus mengerek martabat bangsa ke tempat yang lebih tinggi.
Hanya kebudayaan yang bisa menjadi sokoguru bari gerak jiwa bangsa menuju kehidupan yang lebih baik dengan mengerahkan seluruh potensi sumberdaya alam dan manusia secara kreatif. Hanya kebudayaan yang mampu memberikan nilai-nilai kehalusan budi pekerti yang menyediakan norma-norma sosial menuju kehidupan yang beretika dan berkeadaban. Hanya kebudayaan yang bisa mengubah mental (para pemimpin) bangsa dari tingkatnya yang paling rendah sekarang ini ke level yang lebih tinggi menuju akhlak mulia. Itulah esensi dari Revolusi Mental, yakni Revolusi Kebudayaan!
Setitik sianida di tubuh bangsa
Harus tegas dikatakan, bahwa citra bobrok bangsa ini, sesungguhnya lebih disebabkan oleh ulah setitik nila di tubuh populasi sekitar 255 juta jiwa rakyat Indonesia. Itulah setitik sianida yang disemprotkan ke dalam belanga Nusantara oleh para penyelenggara negara yang jumlahnya hanya sekitar 6,5 juta pegawai (tak sampai tiga persen dari total penduduk). Mereka terdiri dari sekitar 4,5 juta pegawai negeri sipil, sekitar 1,5 juta personel Tentara Nasional Indonesia, sekitar 430 ribu anggota kepolisian, dan 560 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Tentu, kita yakin, tidak seluruhnya dari mereka terlibat dalam aneka tipu daya yang amat besar itu. Namun, katakanlah, jika sepuluh atau bahkan satu persen saja dari jumlah itu yang menjadi para pendurhaka bangsa, maka tragedinya semakin menyakitkan. Akibat ulah segelintir penghamba setan, rusak citra seluruh bangsa.
Mereka itulah yang seharusnya menjadi sasaran pertama dan utama dari Revolusi Mental. Dalam kamus stalinisme, mereka itulah yang harus segera diseret ke hadapan pengadilan rakyat dengan hukuman mati atau kerja paksa setelah masing-masing dimiskinkan terlebih dahulu!
Pendidikan usia dini
Seperti dikatakan oleh peribahasa, akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Kerusakan sudah terjadi. Kini seluruh darah bangsa mengalami keracunan massal. Mental korupsi sudah menjalar ke seluruh tubuh, dengan kecanggihan yang semakin menjadi. Bagaikan virus yang terus melakukan mutasi genetik sehingga mengalami peningkatan kekebalan dari rasa takut dan rasa malu.
Dalam kondisi rusak parah seperti ini, secercah harapan masih bisa disemaikan melalui pendidikan yang berbasis karakter mulia. Seperti yang sudah dirumuskan komposisinya oleh Presiden Jokowi, maka para siswa di tingkat pendidikan dasar mendapatkan porsi pendidikan karakter yang jauh lebih besar ketimbang pendidikan akademis.
Satu hal yang terluput oleh Presiden Jokowi adalah ihwal mahapentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD/TK/RA). Sebagaimana dibuktikan oleh penelitian neurosains dan psikologi perkembangan, pendidikan karakter dan juga kognitif, justru lebih strategis dan fundamental jika dilakukan sejak anak usia dini, kelompok golden age 0-7 tahun.
Tetapi, harus juga dikatakan, konsep penyelenggaraan pendidikan dasar yang selama ini diberlakukan di negeri ini, tidak akan berhasil membangun akhlak mulia sebagaimana yang diharapkan. Sebab, sistem pendidikan di sini hanya ditujukan untuk mencetak para penghafal dan penyontreng jawaban soal-soal ulangan dan ujian. Bukan membangun pribadi yang bahagia, cinta belajar sepanjang hayat, dan sanggup menyongsong setiap tantangan dan perubahan (adaptable).
Dengan kata lain, bukan hanya mental/kebudayaan yang harus direvolusi, sistem pendidikan pun harus direvolusi sekarang juga, hingga ke pangkal undang-undangnya. Sistem pendidikan harus lebih berorientasi kepada pendidikan anak usia dini. Hanya dengan begitu, kita akan bisa memiliki generasi baru pembuat “kapal Nabi Nuh”! [](Gatra 7 September 2016)
*Yudhistira ANM Massardi adalah sastrawan, pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa dengan Metode Sentra, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi.